Senin, 14 September 2015

Martin Widjaja, Menjadi Pahlawan Buah di Negeri Sendiri (Oleh Tim AndrieWongso)




Buah lokal sering kali dipandang sebelah mata. Namun bagi Martin Widjaja, potensi buah lokal sangat bisa dikembangkan. Suatu saat nanti, jangan heran jika belanja ke luar negeri, buah-buahan asli Indonesia akan mudah kita dapatkan. Kuncinya, jaga standar kualitas.

Ada seorang ibu di sebuah supermarket. Ketika ditanya alasan mengapa memilih pisang cavendish sebagai menu buah pilihannya, jawabannya enteng.
“Bukan saya nggak suka pisang dalam negeri. Tapi pisang jenis cavendish dengan merek Sunpride ini selain enak, gizinya juga lengkap.” Sebuah jawaban spontan yang bisa jadi mengundang keprihatinan. Sebab, menurut sang ibu, buah impor dicap sebagai buah yang jauh lebih unggul daripada buah-buahan lokal. Tapi, jika sang ibu sadar, mungkin ia akan segera menarik ucapannya tadi. Sebab, pisang yang dipilihnya itu sebenarnya 100 persen dikembangkan dan dibudidayakan oleh petani-petani lokal, khususnya di daerah Lampung.

Di tengah gempuran buah-buah impor, kehadiran buah dengan merek Sunpride memang terasa “menyejukkan”. Sebab ternyata, buah-buahan dengan merek ini, hampir semuanya ternyata didatangkan dan ditanam di Indonesia. “Sekitar 80% buah kita semua adalah buah yang ditanam dan dipetik dari Indonesia. Baru sisanya yang sekitar 20% kami mendatangkan buah impor, sebab memang tak bisa ditanam di Indonesia, seperti buah kiwi dan anggur,” terang Martin M. Widjaja, Managing Director PT Sewu Segar Nusantara (PT SSN), perusahaan pemegang merek Sunpride.

Nama Sunpride sendiri memang terkesan nama produk buah impor. Sebab dahulu, ketika mengekspor buah ke Timur Tengah, buah dari PT SSN dilabeli dengan gambar hasil karya seorang bocah berumur 11 tahun yang kemudian menjadi nama Sunpride hingga kini. “Dan memang, nama tersebut akhirnya menjadi brand yang menunjukkan buah berkualitas ekspor. Karena itu jugalah, orang hampir selalu menyangka kami adalah buah-buahan impor,” sebut Martin.

Kesan sebagai buah impor itu bisa jadi memang berawal dari buah pisang jenis cavendish yang menjadi andalan Sunpride. Dulu, pisang tersebut memang dikenal sebagai pisang dari luar negeri. “Bentuknya dianggap aneh. Ini disebut orang pisang plastik. Tapi kami terus berjuang dan berupaya, hingga akhirnya pisang ini bisa diterima masyarakat Indonesia,” kisah Martin.

Berkah dari Musibah

Perjuangan Sunpride sebagai distributor buah-buahan dengan kualitas ekspor memang tak mudah. Awalnya, mereka sebenarnya dulu adalah perusahaan penanaman buah berorientasi ekspor. Saat itu, mereka bekerja sama dengan sebuah perusahaan asing untuk menjadi supplier buah, khususnya pisang.

Mereka lantas menyiapkan lahan sekitar 2000 hektar untuk menanam pisang “pesanan” tersebut. Sayang, entah dari mana berawal, serangan penyakit bernama fusarium membuat kebun pisang tersebut mengalami kerugian besar. “Dari 2000 hektar, yang layak petik hanya 400-an hektar,” kenang Martin. “Dengan jumlah yang jauh di bawah target, kami pun akhirnya tak bisa memenuhi kuota sehingga kerja sama pun gagal.”

Bisa dibayangkan, bagaimana nasib petani yang sudah susah-susah menanam semua kebutuhan tersebut, tapi hampir saja tak mendapat apa-apa. Karena terdesak tak ingin rugi lebih banyak, mereka pun memutar otak, bagaimana agar pisang tersebut tetap bisa dijual. “Akhirnya, kami memutuskan untuk mencoba menjual ke pasar lokal. Jika dulu orientasinya ekspor, kami berharap pisang tersebut bisa diterima oleh masyarakat lokal.”

Sayang, perjuangan memang tak pernah mudah. Meski pisang tersebut adalah pisang kualitas unggul yang berorientasi ekspor, masyarakat justru masih menyangsikan. “Orang kita kenalnya dengan pisang mas, ambon, dan sejenisnya. Maka, ketika kami mulai menawarkan pisang ini ke modern market, orang bertanya-tanya,” papar Martin.

“Tapi, sepanjang kemauan kuat, passion ada, semua pasti bisa dilalui,” yakin Martin. Dengan produk yang masih terasa asing di lidah masyarakat Indonesia tersebut, mereka lantas “bergerilya”. Melalui konsep tasting is believing, yakni mengenalkan produknya dengan memberikan sampel sebanyak mungkin pada orang untuk mencoba keenakan rasanya, pelan tapi pasti, pisang cavendish Sunpride mulai diterima. “Nggak gampang memang. Nggak ada yang instan. Prosesnya lama. Tapi, dengan ketekunan, pasti selalu ada jalan.”

Dengan mulai diterimanya pisang tersebut, “gerilya” terus berlanjut. Hingga, tanpa terasa, ada peluang baru yang sebelumnya justru kurang menjadi prioritas utama. “Dulu kami karena orientasi ekspor, kami memang semua menanam sendiri. Tapi, dengan adanya musibah itu, kami belajar banyak. Lantas, kami di PT SSN ini akhirnya fokus ke distribusi dan memasarkan buah. Ini barangkali merupakah berkah setelah musibah. Dengan pengalaman menjual ke pasar lokal, akhirnya kami malah berkembang hingga seperti sekarang.”

Satu nilai tambah lagi yang kemudian membuat Sunpride berhasil berkembang pesat adalah pengalaman menjaga kualitas buah yang dijual. “Dulu saat gagal panen ketika menanam pisang itu, kami mendapat ilmu bagaimana seharusnya buah punya standarisasi. Manisnya sekian, gemuknya sekian, ukuran panjangnya sekian. Semua spesifikasi standar buah yang berkualitas menjadi pelajaran penting sebagai bekal kesuksesan kami kemudian.”

Bisnis Buah, Bisnis Kompleks

Dengan ilmu dan pengalaman yang ada, Sunpride lantas berupaya untuk menjaga kualitas semua buah yang dipasarkannya. Di sinilah, Sunpride menjadi buah yang diperhitungkan. Bahkan, sering kali mengalahkan kualitas buah impor yang masuk ke Indonesia. Menurut Martin, bisnis buah adalah bisnis yang sangat kompleks. Untuk itu, butuh kedisiplinan tingkat tinggi agar buah yang dihasilkan benar-benar mencapai standar kualitas yang seragam. “Karena itu, sedari awal, semua buah yang masuk di PT SSN, sudah jelas spesifikasinya.”

Memang, hal itu langsung terasa sejak masuk ke area penampungan buah—layaknya pabrik—Sunpride di kawasan industri Tangerang. Dari buah masuk, langsung diperlakukan sangat hati-hati, layaknya barang bermerek yang ada di display toko-toko. Pisang misalnya, yang belum akan didistribusikan “ditidurkan”—istilah untuk membuat pisang untuk sementara berhenti berproses menuju matang. Pisang tersebut dikemas rapi dalam kardus dengan plastik kedap udara. Lantas, pisang disimpan dalam gudang berpendingin. Satu kardus yang memiliki berat sekitar 13 kilogram lantas ditumpuk dengan “formasi” tertentu yang membuat sirkulasi udara tetap terjaga.

Setelah itu, pisang yang baru saja dikirim akan diambil sedikit sampelnya. Pisang itulah yang akan diambil secara acak untuk diuji standar kualitasnya. Pisang lantas diukur panjang, kegemukan, dan diuji standar lainnya sesuai metode yang sudah jelas terpampang sebagai panduan untuk mengukur layak atau tidaknya pisang tersebut guna dijual ke pasaran.

Setelah melalui serangkaian uji kelayakan, buah-buah itu lantas dikemas ulang dengan menempelkan stiker dan logo Sunpride dan siap dipasarkan dengan truk-truk berpendingin ke lebih dari 3000 outlet mitra Sunpride di seluruh Indonesia.

Mengentaskan Kehidupan Petani

Dengan standar yang sangat ketat tersebut, jangan heran jika buah merek Sunpride harganya bisa berbeda jauh dengan buah lain yang dijual di pasar. “Kalau melon lain misalnya dijual 4000-an perkilo, kita bisa jual sekitar 20 ribuan perkilo,” terang Martin. “Tapi jangan salah. Keuntungan yang sepertinya besar itu sebagian adalah hak petani menjadi partner kami.”

Martin dan timnya di Sunpride memang menjalin kemitraan yang saling menguntungkan dengan banyak petani. “Saat ini kami ada sekitar 500-an petani yang jadi partner di sekitar Jawa dan Sumatera.” Mereka inilah yang jadi tulang punggung bisnis PT SSN. Kerja sama dengan petani lokal inilah yang terus dikembangkan Martin dan timnya, sehingga mereka berhasil mengentaskan kehidupan ekonomi banyak petani di berbagai daerah.

Namun, Martin menyebut, proses mendapatkan petani yang memiliki standar seperti yang diminta Sunpride tak mudah. Sebab, untuk mendapatkan kualitas dengan standar tingkat tinggi tersebut, sering kali mengalami banyak kendala. Utamanya kalau sudah berhubungan dengan kebutuhan perut. “Misalnya, ada petani yang sudah mau kita bina. Kita berikan panduan. Tanamnya ini, bibitnya ini, pupuknya ini, caranya begini. Begitu menjelang panen, belum saatnya dipanen, tapi karena sudah harus makan, mereka terpaksa memanen sebelum saatnya. Mau tidak mau, yang begini tetap kita tolak karena memang kami harus menjaga standar sesuai yang telah kami tetapkan sebelumnya,” kisah Martin sedih. “Ya, kasihan. Tapi, bagi mereka yang tahan, banyak kok yang akhirnya hidupnya jadi sukses. Yang begitu biasanya kemudian keterusan, senang, dan mengajak petani lain, hingga jumlahnya terus berkembang.”
Untuk menjadikan petani hingga mencapai taraf sukses seperti itu memang tak gampang. Martin mengaku, ia terus melakukan pendampingan kepada para petani di berbagai daerah.

Martin menyebut faktor kedisiplinan menjadi salah satu kendala utama yang harus terus diperbaiki. “Kalau ingin buah kita bersaing dengan pasar luar negeri, memang mau tidak mau kita harus bisa meningkatkan dan menjaga standar buah yang dihasilkan. Untuk itu, kita akan terus berupaya menggandeng para petani untuk menjadi satu gerbong utuh yang akan menaikkan derajat buah asli Indonesia,” papar Martin. “Pola satu gerbong ini kita terapkan dari petani, pengelolaan, pemasaran, hingga ke retailer. Sehingga, kita semua satu visi. Jika itu bisa kita terapkan, saya yakin, buah-buahan nasional akan bisa menembus pasar global. Dan sepanjang kita punya passion, disiplin, mau menjaga kualitas, negara kita yang kaya dan subur ini pasti bisa bersaing dan menjadi negara yang besar!”

Tidak ada komentar:

Posting Komentar